UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH : KIMIA BAHAN ALAM
SKS : 2
DOSEN : Dr. Syamsurizal, M.Si
WAKTU : 22-29 Desember 2012
PETUNJUK : Ujian ini open book. Tapi tidak diizinkan mencontek, bilamana ditemukan, maka anda dinyatakan GAGAL. Jawaban anda diposting di bolg masing-masing.
Nama : Ni Wayan Angga Dewi. S
NIM : RRA1C110014
SKS : 2
Mata Kuliah : Kimia Bahan Alam
1. Jelaskan dalam jalur biosintesis triterpenoid, identifikasilah faktor-faktor penting yang sangat menentukan dihasilkannya triterpenoid dalam kuantitas yang banyak.
Jawab:
Asam asetat setelah diaktifkan oleh koenzim A melakukan kondensasi jenis Claisen menghasilkan asam asetoasetat. Senyawa yang dihasilkan ini dengan asetil koenzim A melakukan kondensasi jenis aldol menghasilkan rantai karbon bercabang sebagaimana ditemukan pada asam mevanolat. Reaksi-reaksi berikutnya ialah fosforilasi, eliminasi asam fosfat dan dekarboksilasi menghasilkan IPP yang selanjutnya berisomerisasi menjadi DMAPP oleh enzim isomerase. IPP sebagai unit isopren aktif bergabung secara kepada ke-ekor dengan DMAPP dan penggabungan ini merupakan langkah pertama dari polimerisasi isopren untuk menghasilkan terpenoid. Penggabungan ini terjadi karena serangan elektron dari ikatan rangkap IPP terhadap atom karbon dari DMAPP yang kekurangan elektron diikuti oleh penyingkiran ison pirofosfat. Serangan ini menghasilkan geranil pirofosfat (GPP) yakni senyawa antara bagi semua senyawa monoterpen.
Penggabungan selanjutnya antara satu unit IPP dan GPP, dengan mekanisme yang sama seperti antara IPP dan DMAPP, menghasilkan farnesil pirofosfat (FPP) yang merupakan senyawa antara bagi semua senyawa seskuiterpen. Senyawa-senyawa diterpen diturunkan dari geranil-geranil pirofosfat (GGPP) yang berasal dari kondensasi antara atau satu unit IPP dan GPP dengan mekanisme yang sama pula.
Bila reaksi organik sebagaimana tercantum dalam Gambar 2 ditelaah lebih mendalam, ternyata bahwa sintesa terpenoid oleh organisme adalah sangat sederhan a sifatnya. Ditinjau dari segi teori reaksi organik sintesa ini hanya menggunakan beberapa jenis reaksi dasar. Reaksi-reaksi selanjutnya dari senyawa antara GPP, FPP dan GGPP untuk menghasilkan senyawa-senyawa terpenoid satu persatu hanya melibatkan beberapa jenis reaksi sekunder pula. Reaksi-reaksi sekunder ini lazimnya ialah hidrolisa, siklisasi, oksidasi, reduksi dan reaksi-reaksi spontan yang dapat berlangsung dengan mudah dalam suasana netral dan pada suhu kamar, seperti isomerisasi, dehidrasi, dekarboksilasi dan sebagainya.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi dihasikannya triterpenoid yaitu:
1. Jenis pelarut
Jenis pelarut mempengaruhi senyawa yang tersari, jumlah solut yang terekstrak dan kecepatan ekstraksi. Dalam dunia farmasi dan produk bahan obat alam, pelarut etanol, air dan campuran keduanya lebih sering dipilih karena dapat diterima oleh konsumen.
2. Temperatur
Secara umum, kenaikan temperatur akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke dalam pelarut. Temperatur pada proses ekstraksi memang terbatas hingga suhu titik didih pelarut yang digunakan.
3. Rasio pelarut dan bahan baku
Jika rasio pelarut-bahan baku besar maka akan memperbesar pula jumlah senyawa yang terlarut. Akibatnya laju ekstraksi akan semakin meningkat. Akan tetapi semakin banyak pelarut, proses ekstraksi juga semakin mahal. digunakan maka proses hilirnya akan semakin mahal.
4. Ukuran partikel
Laju ekstraksi juga meningkat apabila ukuran partikel bahan baku semakin kecil. Dalam arti lain, rendemen ekstrak akan semakin besar bila ukuran partikel semain kecil.
2. Jelaskan dalam penentuan struktur flavonoid, kekhasan signal dan intensitas serapan dengan menggunakan spektrum IR dan NMR. Berikan dengan contoh sekurang-kurangnya dua struktur yang berbeda.
Jawab:
Spektrum IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi pada suatu senyawa, terutama senyawa organic.
Penentuan golongan flavonoid
Kromatografi kertas digunakan untuk penentuan golongan flavonoid dari fraksi dan isolat yang diperoleh. Deteksi bercak dilakukan dibawah sinar UV366 dengan pendeteksi uap ammonia dan sitroborat. Deteksi aktivitas antioksidan dari bercak kromatografi dengan DPPH 0,2% dalam metanol. Kemurnian ditetapkan secara kromatografi lapis tipis fase diam silika gel GF254 dan kromatografi kertas menggunakan 4 jenis fase gerak yang berbeda polaritasnya.
Uji aktivitas antioksidan penangkap radikal
Semua isolat yang diperoleh dari hasil pemisahan secara kromatografi (isolat A1, B2, B3, B4a dan B4b) dilakukan uji aktivitas antioksidan penangkap radikal DPPH sesuai metode Kwon dan Kim (2003) dengan sedikit modifikasi. Larutan isolat dalam metanol pada beberapa konsentrasi (1-32 µg/mL) sebanyak 1,2 mL ditambah 0,3 mL larutan DPPH 0,5 mM dalam metanol sehingga volume total campuran 1,5 mL dan campuran dikocok kuat. Setelah didiamkan pada temperatur kamar selama 30 menit, sisa DPPH ditentukan secara spektrofotometri pada panjang gelombang 517 nm. Pengujian ini juga dilakukan pengukuran terhadap blanko (larutan DPPH yang tidak mengandung bahan uji) serta kontrol positif kuersetin.
Aktivitas penangkap radikal DPPH (%) dihitung dengan rumus: (Ablanko-Asampel) : Ablanko x
100 %. Data aktivitas (%) dianalisis dan dihitung nilai EC50 melalui analisis probit. EC50 adalah konsentrasi yang mampu menghambat 50% DPPH. Pengujian dilakukan dengan empat kali replikasi.
Identifikasi isolat
Isolat A1, B2, B3, B4a dan B4b diidentifikasi berdasarkan data kromatogram. Khusus untuk
isolat B4b identifikasi dilengkapi dengan data spektrum ultraviolet menggunakan pereaksi geser berdasarkan metode Markham (1988) dan Mabry et al. (1970), spektrum FT-IR dalam pellet KBr dan spektrum ¹H-NMR 90 MHz dalam DMSO-d6.
Hasil uji aktivitas isolat sebagai antioksidan penangkap radikal
Aktivitas antioksidan penangkap radikal DPPH masing-masing isolat menunjukkan bahwa isolat A1 dan B4b mempunyai aktivitas antioksidan penangkap radikal yang relatif lebih tinggi dibandingkan ketiga isolat yang lain (Gambar 1). Kedua isolat tersebut pada konsentrasi 32 µg/mL mempunyai aktivitas penangkap radikal lebih dari 90%. Tiga isolat yang lain pada konsentrasi sama menunjukkan aktivitas yang lebih rendah. Isolat B3 dan B4a pada konsentrasi larutan uji 32 µg/mL bahkan belum mampu menangkap 50% radikal DPPH.
Berdasarkan profil data yang diperoleh, maka hanya isolat yang pada rentang kadar
1-32 µg/mL mampu menunjukkan aktivitas lebih dari 50 % saja yang dihitung nilai EC50, sedangkan isolat yang pada rentang kadar tersebut diatas menunjukkan aktivitas kurang dari 50% tidak dilakukan ekstrapolasi. Hasil pengujian menunjukkan isolat B4b mempunyai potensi antioksidan penangkap radikal dengan
Konsentrasi isolat (µg/mL)
Gambar 1. Aktivitas antioksidan penangkap radikal dari isolat
EC50 6,43 µg/mL. Aktivitas isolat B4b yang paling tinggi dibandingkan keempat isolat yang lain meskipun dengan isolat A1 selisih nilai EC50 hanya sebesar 0,42 µg/mL. Aktivitas anti- oksidan isolat B2 lebih rendah dibandingkan A1 dan B4b. Dua isolat yang kurang aktif sebagai antioksidan penangkap radikal adalah isolat B3 dan B4a. Nilai EC50 masing-masing isolat terlihat pada Tabel I.
Perbedaan aktivitas ini kemungkinan disebabkan masing-masing isolat yang diduga flavonoid tersebut mempunyai gugus hidroksi dengan jumlah dan lokasi pada kerangka flavonoid yang berbeda. Gulcin et al. (2004) dan Pokorni et al., (2001) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dari senyawa alamiah yang berasal dari tanaman seperti flavonoid disebabkan adanya gugus hidroksi pada struktur molekulnya. Flavonoid dengan gugus hidroksi bebas mempunyai aktivitas penangkap radikal dan adanya gugus hidroksi lebih dari satu terutama pada cincin B akan meningkatkan aktivitas antioksidannya.
Hasil identifikasi isolat
Hasil identifikasi isolat A1, B2 dan B3 pada kromatografi kertas memberikan data tercantum pada Tabel II. Masing-masing isolat setelah hidrolisis menghasilkan bercak dengan nilai hRf yang berbeda dengan isolat awalnya. Hal ini menunjukkan ketiga isolat tersebut merupakan O-glikosida. Warna biru terang isolat A1 dibawah sinar UV 366 nm dan menjadi biru kehijauan setelah diberi uap amoniak kemungkinan suatu flavon, flavanon tanpa 5-OH atau flavonol tanpa 5-OH tetapi tersubstitusi pada 3-OH. Warna bercak isolat B2 dan B3 berwarna ungu gelap dibawah sinar UV 366 nm dan setelah diberi uap amoniak menjadi coklat kemungkinan suatu 5-OH flavon, flavanon atau flavonol (tersubstitusi pada 3OH).
Isolat B4a dan B4b merupakan hasil hidrolisis karena pada saat pemisahannya
dengan kromatografi kertas isolat tidak dapat larut dalam metanol sehingga digunakan metanol-air (4 : 6) kemudian filtrat yang
Gambar 1. Aktivitas antioksidan penangkap radikal dari isolat
EC50 6,43 µg/mL. Aktivitas isolat B4b yang paling tinggi dibandingkan keempat isolat yang lain meskipun dengan isolat A1 selisih nilai EC50 hanya sebesar 0,42 µg/mL. Aktivitas anti- oksidan isolat B2 lebih rendah dibandingkan A1 dan B4b. Dua isolat yang kurang aktif sebagai antioksidan penangkap radikal adalah isolat B3 dan B4a. Nilai EC50 masing-masing isolat terlihat pada Tabel I.
Perbedaan aktivitas ini kemungkinan disebabkan masing-masing isolat yang diduga flavonoid tersebut mempunyai gugus hidroksi dengan jumlah dan lokasi pada kerangka flavonoid yang berbeda. Gulcin et al. (2004) dan Pokorni et al., (2001) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dari senyawa alamiah yang berasal dari tanaman seperti flavonoid disebabkan adanya gugus hidroksi pada struktur molekulnya. Flavonoid dengan gugus hidroksi bebas mempunyai aktivitas penangkap radikal dan adanya gugus hidroksi lebih dari satu terutama pada cincin B akan meningkatkan aktivitas antioksidannya.
Hasil identifikasi isolat
Hasil identifikasi isolat A1, B2 dan B3 pada kromatografi kertas memberikan data tercantum pada Tabel II. Masing-masing isolat setelah hidrolisis menghasilkan bercak dengan nilai hRf yang berbeda dengan isolat awalnya. Hal ini menunjukkan ketiga isolat tersebut merupakan O-glikosida. Warna biru terang isolat A1 dibawah sinar UV 366 nm dan menjadi biru kehijauan setelah diberi uap amoniak kemungkinan suatu flavon, flavanon tanpa 5-OH atau flavonol tanpa 5-OH tetapi tersubstitusi pada 3-OH. Warna bercak isolat B2 dan B3 berwarna ungu gelap dibawah sinar UV 366 nm dan setelah diberi uap amoniak menjadi coklat kemungkinan suatu 5-OH flavon, flavanon atau flavonol (tersubstitusi pada 3OH).
Isolat B4a dan B4b merupakan hasil hidrolisis karena pada saat pemisahannya
dengan kromatografi kertas isolat tidak dapat larut dalam metanol sehingga digunakan metanol-air (4 : 6) kemudian filtrat yang
Tabel I. Nilai EC50 hasil pengujian aktivitas antioksidan isolate
diperoleh dihidrolisis. Data kromatogram isolat B4a dan B4b tercantum pada Tabel III. Nilai hRf bercak hasil pengembangan dengan asam asetat
15% dan BAA (4:1:5) mencerminkan bahwa kedua isolat suatu aglikon. Karakteristik bercak kromatogram kedua isolat di bawah sinar ultraviolet menunjukkan warna kuning dan setelah diuapi amoniak tidak menunjukkan perubahan warna, kemungkinan suatu flavonol
3-OH.
Identifikasi isolat B4b yang menunjukkan aktivitas antioksidan paling tinggi dilanjutkan menggunakan spektrofotometer UV, FT-IR dan 1H-NMR dengan hasil pada Tabel IV, V dan VI. Berdasarkan identifikasi menggunakan
Tingginya aktivitas antioksidan B4b dibanding isolat lainnya kemungkinan adanya gugus o-diOH dan 3-OH bebas. Hal ini sesuai dengan Cos et al. (1998) yang menyatakan keberadaan gugus 3-OH dan 3'-OH pada cincin B dapat dihubungkan dengan aktivitas anti- oksidan penangkap radikal yang tinggi. Adanya gugus hidroksi pada cincin B dari isolat B4b merupakan sisi aktif utama dalam memutus rantai oksidasi dan gugus hidroksi ganda pada cincin B lebih meningkatkan aktivitasnya.
15% dan BAA (4:1:5) mencerminkan bahwa kedua isolat suatu aglikon. Karakteristik bercak kromatogram kedua isolat di bawah sinar ultraviolet menunjukkan warna kuning dan setelah diuapi amoniak tidak menunjukkan perubahan warna, kemungkinan suatu flavonol
3-OH.
Identifikasi isolat B4b yang menunjukkan aktivitas antioksidan paling tinggi dilanjutkan menggunakan spektrofotometer UV, FT-IR dan 1H-NMR dengan hasil pada Tabel IV, V dan VI. Berdasarkan identifikasi menggunakan
Tingginya aktivitas antioksidan B4b dibanding isolat lainnya kemungkinan adanya gugus o-diOH dan 3-OH bebas. Hal ini sesuai dengan Cos et al. (1998) yang menyatakan keberadaan gugus 3-OH dan 3'-OH pada cincin B dapat dihubungkan dengan aktivitas anti- oksidan penangkap radikal yang tinggi. Adanya gugus hidroksi pada cincin B dari isolat B4b merupakan sisi aktif utama dalam memutus rantai oksidasi dan gugus hidroksi ganda pada cincin B lebih meningkatkan aktivitasnya.
Diperoleh 5 isolat dari daun S. burahol. Semua isolat mempunyai aktivitas antioksidan penangkap radikal dan B4b merupakan isolat paling aktif dengan EC50 6,43 µg/mL. Identifikasi B4b menunjukkan 3,7,3',4'- tetrahidroksi-5-metil flavon.
3. Dalam isolasi alkaloid, pada tahap awal dibutuhkan kondisi asam atau basa. Jelaskan dasar penggunaan reagen tersebut, dan berikan contohnya sekurang-kurangnya tiga macam alkaloid.
Jawab:
Satu-satunya sifat kimia alkaloid yang paling penting adalah kebasaannya. Metode pemurnian dan pencirian ialah umumnya mengandalkan sifat ini, dan pendekatan khusus harus dikembangkan untuk beberapa alkaloid misalnya rutaekarpina, kolkhisina, risinina) yang tidak bersifat basa.
Umumnya isolasi bahan bakal sediaan galenik yang mengandung alkaloid dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
1. Dengan menarik menggunakan pelarut-pelarut organik berdasarkan azas Keller. Yaitu alkaloida disekat pada pH tertentu dengan pelarut organik. Prinsip pengerjaan dengan azas Keller yaitu alkaloida yang terdapat dalam suatu bakal sebagai bentuk garam, dibebaskan dari ikatan garam tersebut menjadi alkaloida yang bebas. Untuk itu ditambahkan basa lain yang lebih kuat daripada basa alkaloida tadi. Alkaloida yang bebas tadi diekstraksi dengan menggunakan pelarut –pelarut organic misalnya Kloroform. Tidak dilakukan ekstraksi dengan air karena dengan air maka yang masuk kedalam air yakni garamgaram alkaoida dan zat-zat pengotor yang larut dalam air, misalnya glikosida-glikosida, zat warna, zat penyamak dan sebagainya. Yang masuk kedalam kloroform disamping alkaloida juga lemaklemak, harsa dan minyak atsiri. Maka setelai alkaloida diekstraksi dengan kloroform maka harus dimurnikan lagi dengan pereaksi tertentu. Diekstraksi lagi dengan kloroform. Diuapkan, lalu didapatkan sisa alkaloid baik dalam bentuk hablur maupun amorf. Ini tidak berate bahwa alkaloida yang diperoleh dalam bentuk murni, alkaloida yang telah diekstaksi ditentukan legi lebih lanjut. Penentuan untuk tiap alkaloida berbeda untuk tiap jenisnya. Hal-hal yang harus diperhatikan pada ekstraksi dengan azas Keller, adalah :
a. Basa yang ditambahkan harus lebih kuat daripada alkaloida yang akan dibebaskan dari ikatan garamnya, berdasarkan reaksi pendesakan.
b. Basa yang dipakai tidak boleh terlalu kuat karena alkaloida pada umumnya kurang stabil. Pada pH tinggi ada kemungkinan akan terurai, terutama dalam keadaan bebas, terlebih bila alkaloida tersebut dalam bentuk ester, misalnya : Alkaloid Secale, Hyoscyamin dan Atropin.
c. Setelah bebas, alkaloida ditarik dengan pelarut organik tertentu, tergantung kelarutannya dalam pelarut organik tersebut.
Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan memakai air yang diasamkan yang melarutkan alkaloid sebagai garam, atau bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya dan basa bebas diekstaksi dengan pelarut organik seperti kloroform, eter dan sebagainya. Radas untuk ekstraksi sinabung dan pemekatan khusunya digunakan untuk alkaloid yang tidak tahan panas. Beberapa alkaloid menguap seperti,nikotina dapat dimurnikan dengan cara penyulingan uap dari larutanmyang diabasakan. Larutan dalam air yang bersifat asam danmmengandung alkaloid dapat dibasakan dan alkaloid diekstaksim dengan pelarut organik , sehingga senyawa netral dan asam yang mudah larut dalam air tertinggal dalam air. Cara lain yang berguna untuk memperoleh alkaloid dari larutan asam adalah dengan penjerapan menggunakan pereaksi Lloyd. Kemudian alkaloid dielusi dengan dammar XAD-2 lalu diendapkan dengan pereaksi Mayer atau Garam Reinecke dan kemudian endapan dapat dipisahkan dengan cara kromatografi pertukaran ion. Masalah yang timbul pada beberapa kasus adalah bahwa alkaloid berada dalam bentuk terikat yang tidak dapat dibebaskan pada kondisi ekstraksi biasa. Senyawa pengkompleksnya barangkali polisakarida atau glikoprotein yang dapat melepaskan alkaloid jika diperlakukan dengan asam.
2. Pemurnian alkaloida dapat dilakukan dengan cara modern yaitu dengan pertukaran ion.
3. Menyekat melalui kolom kromatografi dengan kromatografi partisi.
Cara kedua dan ketiga merupakan cara yang paling umum dan cocok untuk memisahkan campuran alkaloid. Tata kerja untuk mengisolasi dan mengidentifikasi alkaloid yang terdapat dalam bahan tumbuhan yang jumlahnya dalam skala milligram menggunakan gabungan kromatografi kolom memakai alumina dan kromatografi kertas.
Identifikasi Senyawa Alkaloid
1. Berdasarkan sifat spesifik.
Alkaloid dalam larutan HCl dengan pereaksi Mayer dan Bouchardhat membentuk endapan yang larut dalam alkohol berlebih. Protein juga memberikan endapan, tetapi tidak larut dalam dalam alcohol berlebih.
2. Berdasarkan bentuk basa dan garam-nya / Pengocokan
Alkaloid sebagai basanya tidak larut dalam air, sebagai garamnya larut baik dalam air. Sebaiknya pelarut yang digunakan adalah pelarut organik : eter dan kloroform. Pengocokan dilakukan pada pH : 2, 7, 10 dan 14. Sebelum pengocokan, larutan harus dibasakan dulu, biasanya menggunakan natrium hidroksida, amonia pekat, kadang-kadang digunakan natrium karbonat dan kalsium hidroksida.
3. Reaksi Gugus Fungsionil
a. Gugus Amin Sekunder
Reaksi SIMON : larutan alkaloida + 1% asetaldehid + larutan na
nitroprussida = biru-ungu
Hasil cepat ditunjukkan oleh Conilin, Pelletierin dan Cystisin.
Hasil lambat ditunjukkan oleh Efedrin, Beta eucain, Emetin, Colchisin dan Physostigmin.
b. Gugus Metoksi
Larutan dalam Asam Sulfat + Kalium Permanganat = terjadi formaldehid, dinyatakan dengan reaksi SCHIFF. Kelebihan Kalium Permanganat dihilangkan dengan Asam Oksalat. Hasil positif untuk Brucin, Narkotin, koden, Chiksin, Kotarnin, Papaverin, Kinidin,Emetin, tebain dan lain-lain.
c. Gugus Alkohol Sekunder
Reaksi SANCHES : Alkaloida + Larutan 0,3% Vanilin dalam HCl pekat, dipanaskan diatas tangas air = merah-ungu. Hasil positif untuk Morfin, Heroin, Veratrin, Kodein, Pronin, dionin dan parakonidin.
d. . Gugus Formilen
Reaksi WEBER & TOLLENS : Alkaloida + larutan Floroglusin 1% dalam Asam Sulfat (1:1), panaskan = merah
Reaksi LABAT:
Alkaloida + Asam Gallat + Asam Sulfat pekat, dipanaskan diatas tangas air = hijau-biru
Hasil positif untuk berberin, hidrastin, kotamin, narsein, hidrtastinin, narkotin dan piperin.
e. Gugus Benzoil
Reaksi bau : Esterifikasi dengan alcohol + Asam Sulfat pekat = bau ester.
Hpositif untuk Kokain, Tropakain, Alipin, Stivakain, Beta eukain, dan lain-lain.
f. reaksi GUERT
Alkaloida didiazotasikan lalu + Beta Naftol = merah-ungu.
Hasil untuk kokain, Atropin, Alipin, Efedrin, tropakain, Stovakain, Beta eukain, dan lain-lain.
g. Reduksi Semu
Alkaloida klorida + kalomel + sedikit air = hitam Tereduksi menjadi logam raksa.
Raksa (II) klorida yang terbentuk terikat dengan alkaloid sebagai kompleks.
Hasil positif untuk kokain, Tropakain, Pilokarpin, Novokain, Pantokain, alipin, dan lain-lain.
4. Jelaskan keterkaitan diantara biosintesis, metode isolasi dan penentuan struktur senyawa bahan alam . Berikan contohnya.
Jawab:
Biosintetis dapat diartikan sebagai urutan atau proses yang di dalamnya terdiri atas tahap-tahap pembentukkan dari senyawa yang sederhana menjadi senyawa kompleks. Proses biosintesis akan berlangsung sangat kompleks, tergantung dari macam enzim yang tersedia sehingga tumbuhan sejenis yang tumbuh di daerah yang berbeda sangat memungkinkan untuk mempunyai jalur pembentukkan metabolit tertentu yang tidak identik.
Pada dasarnya isolasi senyawa kimia dari bahan alam itu adalah sebuah usaha bagaimana caranya memisahkan senyawa yang bercampur sehingga kita dapat menghasilkan senayawa tunggal yang murni.
Penentuan struktur dilakukan dengan alat spektroskopi, dimana pada metode spektroskopi ini digunakan untuk menentukan dan mengkonfirmasi struktur molekul dan meninjau reaksi untuk mengetahui kemurnian dari senyawa tersebut.
Keterkaitan diantara ketiganya yaitu:
Senyawa bahan alam di biosintesis dalamnya terdiri atas tahap-tahap pembentukkan dari senyawa yang sederhana menjadi senyawa kompleks. Proses biosintesis akan berlangsung sangat kompleks. Kemudian setelah di biosintesis kemudian diisolasi untuk mendapatkan senyawa yang lebih murni setelah di isolasi dan diperoleh senyawa tunggal yang murni barualah dilakukan penentuan struktur senyawa tersebut.
Contoh:
ISOLASI & IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID DARI BIJI JINTEN HITAM
Biji jinten hitam (Nigella sativa L.) dikatakan memiliki berbagai khasiat antara lain analgesik, antiinflamasi, antihistamin, antioksidan, antikanker, imunomodulator, antihipertensi, dan antivirus. Khasiat antioksidan dari biji jinten hitam diduga karena adanya senyawa flavonoid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan senyawa flavonoid dari biji jinten hitam (Nigella sativa L.). Pemisahan ekstrak dilakukan dengan metode ekstraksi cair-cair dengan pelarut n-heksan, etil asetat dan air dan terlihat bahawa flavonoid ada di fraksi air setelah dilakukan kromatografi lapis tipis dengan pengembang butanol : asam asetat : air dengan perbandingan 4 : 1 : 5. Fraksi air kemudian dipisahkan dengan cara kromatografi lapis tipis preparatif hingga diperoleh isolat NS – 1. Isolat NS – 1 merupakan suatu flavonoid yang berbentuk serbuk, mempunyai Rf 0,32 dengan pengembang butanol : asam asetat : air (4 : 1 : 5), terlihat berupa tiadak berwarna pada sinar tampak, berwarna biru keunguan pada sinar UV 254 nm, memberikan fluoresensi berwarna biru terang dengan penampak bercak AlCl3. Spektrofotometri UV-Vis menunjukkan bahawa isolat NS-1 mempunyai puncak panjang gelombang maksimun pada 271 nm dan 310 nm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar